Tuesday, June 17, 2008

Goenawan Mohammad tentang Indonesia

Indonesia
Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemendimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: "SBY Pengecut!"
Yang membacakannya Abu Bakar Ba'asyir, disebut sebagai "Amir" MajelisMujahidin Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme.Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedangdalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang.Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam selpengap, atau dipancung.
Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba'asyir! Ini bukanTurki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan bolehdikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalahsebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat,bahkan mengecam Kepala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan denganhati-hati--karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hatidan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing takboleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karenadengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untukmembela diri; ia bukan hewan untuk korban.
Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba'asyir, sebab itupelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepadahakim, jaksa, polisi--juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelisulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak ditangan manusia.
Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percayakepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurnayang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan katalain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Imanmembentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanaidi 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolakdari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orangtanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaikmengelola sengketa.
Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya bacasebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun olehorang-orang Indonesia yang prihatin: "… ternyata, sejarah Indonesia tidakbebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakanDarul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an.Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflikantargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua,sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir."
Ingatkah, Saudara Ba'asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudaraberapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kitamenyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diripaling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbauagar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut"bhineka-tunggal- ika". Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.
Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya denganmeniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbedauntuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusiada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna--denganmengklaim diri sebagai buatan Tuhan--akan tertutup bagi koreksi, sementarakita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.
Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.
Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya--dan itulahyang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarahdan geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaanitu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisilokal, "gotong-royong" . Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dandisalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno:"gotong-royong" itu "paham yang dinamis," lebih dinamis ketimbang"kekeluargaan" .
Artinya, "gotong-royong" mengandung kemungkinan berubah-ubah cara danprosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatanprimordial, ikatan "kekeluargaan" . Sebab, ada tujuan yang universal, yangbisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja--"yang kaya dan yang tidakkaya," kata Bung Karno, "yang Islam dan yang Kristen", "yang bukanIndonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia."
"Gotong-royong" itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab,sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa namaTuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga SaudaraBa'asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karnosebagai "egoisme-agama. "
Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanahair ini akan jadi tempat yang mengerikan jika "egoisme" itu dikobarkan.Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: "Hendaknya negaraIndonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannyadengan cara leluasa."
Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab danBa'asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?
Goenawan Mohamad

Monday, June 09, 2008

Poligami Sunnah?? by Faqihuddin Abdul Kodir


Poligami Sunnah???....Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).


DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287). Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istrtunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikanpersoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
Nabi dan larangan poligamiDalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah