Showing posts with label poligami. Show all posts
Showing posts with label poligami. Show all posts

Monday, June 09, 2008

Poligami Sunnah?? by Faqihuddin Abdul Kodir


Poligami Sunnah???....Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).


DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287). Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istrtunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikanpersoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
Nabi dan larangan poligamiDalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

Monday, February 26, 2007

Kutipan artikel

Sebuah artikel yang aslinya merupakan tanggapan atas artikel yang termuat di www.islamlib.com, dengan judul Dari Qasim Untuk AA Gym. Ditulis oleh sala seorang komentator bernama Nasuki yang tinggal di Abu Dhabi.
Dikutip disini bukan sebagai pernyataan bahwa saya akan berpoligami (Insya Allah tidak akan melakukannya), melainkan untuk memberikan gambaran bagaimana, di mata saya, Islam menerapkan praktek Poligami. Selain itu juga memberikan sedikit klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan banyak pihak mengenai sejarah Poligami Rasulullah SAW. Kiranya dapat menjernihkan sedikit polemik tentang poligami tersebut.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Poligami boleh Hanya dgn. Perempuan Yatim

Poligami Kebanyakan. Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu: polus berarti banyak, dan gamos berarti perkawinan, sehingga poligami berarti kawin (beristeri/bersuami) banyak. Dalam tulisan ini poligami agar dibaca pria muslim beristeri dua, tiga sampai dengan empat. Pelaksanaan poligami pada umumnya bertujuan utama menghindari perbuatan perzinahan serta pelanggaran-pelanggaran lain dari norma agama Islam yang dilatarbelakangi oleh banyak hal, yang mana mereka mengetahui bahwa Islam memperbolehkankan praktek poligami berdasarkan atas Al-Qur’an surat Annisak, ayat 3: “Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya”

Alasan Yang Tidak Rasional. Surat Annisak, ayat 3 jika diterjemahkan apa adanya terdiri dari 5(lima) kalimat utama, yaitu: 1. Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, 2. maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat. 3. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, 4. hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu . 5. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.

Tafsir yang beredar mengartikan surat Annisak, ayat 3 antara lain sebagai berikut: I. Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, Depag RI, Jakarta 1978: 1. Dan jika kamu merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila mengawini anak-anak yatim itu, 2. maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu sukai: Dua, tiga, atau empat. 3. Tetapi jika kamu khawaatir takkan dapat berlaku adil antara wanita-wanita itu, 4. maka kawinilah seorang saja atau hamba sahaya yang kamu miliki. 5. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.

II. Interpretation of the Meaning of THE NOBLE QUR’AN in English language, Islamic University, Al-Madinah Al-Munawarah, Saudi Arabia, 1996: 1. And if you fear that you shall not be able to deal justly with the orphan girls 2. then marry (other) women of your choice, two or three, or four; 3. but if you fear that you shall not be able to deal justly (with them), 4. then only one or (slaves) that your right hands possess. 5. That is nearer to prevent you from doing injustice.

Adanya tambahan kata “bila mengawini” dalam kalimat pertama, dan kata “lain” dalam kalimat kedua pada terjemahan I, dan tambahan kata “other” dalam kalimat kedua pada terjemahan II, keduanya merubah makna ayat tsb., sehingga dapat merubah pula latar belakang atau alasan seseorang dalam berpoligami. Akan tetapi kalau disimak lebih dalam lagi pada terjemahan I ataupun II, maka maknanya dapat disimpulkan sbb.: 1. Apabila seseorang merasa khawatir tidak dapat berlaku adil apabila berpoligami dengan para yatim, kemudian dianjurkan untuk berpoligami dengan wanita-wanita selain yatim, atau dapat diartikan bahwa kalau khawatir tidak dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, maka boleh berlaku tidak adil asalkan berpoligami dengan bukan dari golongan yatim. Akan tetapi pada kalimat ketiga pelaku poligami masih dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya, artinya kalau pelaku poligami bisa melaksanakan keadilan dengan ‘wanita lain’ sesuai perintah pada kalimat ketiga, lalu mengapa harus berpoligami dengan wanita bukan golongan yatim, toh pada dasarnya pelaku tsb. dapat berlaku adil. Diawalnya dikatakan “jika tidak dapat berlaku adil”, kemudian pada kalimat ketiga masih dituntut untuk berbuat adil, jadi ada kontradiksi atau kacau. 2. Seandainya ada seorang yang dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, berapa batasan jumlah isteri yang dapat dikawini dari golongan yatim?, yang pasti, bukan dua, atau tiga, atau empat, karena bilangan tersebut hanya diperuntukkan apabila kawin dengan ‘wanita lain’, bukan dengan para yatim. 3. Kalaulah pemaknaan tersebut merupakan keyakinan yang dikemas menjadi sesuatu, katakanlah “kesepakatan”, maka dalam berpoligami akan ada skala prioritas, yaitu mereka harus mencoba/mencari untuk berpoligami dengan para yataamaa sebagai prioritas pertama, kemudian apabila dirasa atau khawatir tidak dapat berlaku adil, kemudian boleh dengan wanita lain yang disukai sebagai prioritas kedua, tetapi hal ini masih menyisakan satu pertanyaan, tentang batasan jumlah isteri dari golongan yatim.

Alasan Yang Rasional Ayat tsb. diatas kalau diterjemahkan apa adanya dapat bermakna, apabila seseorang merasa khawatir terhadap para yatim (yataamaa) tentang suatu kemungkinan adanya perlakuan yang tidak selayaknya, atau khawatir tentang perjalanan hidup yataamaa tanpa adanya seorang “ayah”, maka dianjurkan untuk mengawini wanita-wanita (ibu sianak yatim atau perempuan-perempuan yatim) yang disukai sampai dengan empat orang. Secara akal (baca: rasional) ini dapat diartikan agar kita menolong para keluarga yatim dengan mengawini perempuan yang disukai, agar mereka dapat hidup layak sebagaimana keluarga lain yang bukan yatim, yaitu agar mereka terbimbing dari masa depan yang kurang menguntungkan, baik dari segi akidah maupun dari segi nafkah. Jadi unsur menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan karena menjadi yatim lebih ditonjolkan daripada sekedar kawin dengan alasan lainnya, dengan catatan pilihlah wanita yatim yang disukai, catatan ini dapat diasumsikan bertujuan menjaga keseimbangan tentang perbuatan menolong dengan keinginan si penolong. Akan tetapi kalau kehidupan mereka tidak mengkhawatirkan, misalnya dari segi materi, pendidikan, dll. dinilai cukup atau mereka dinilai akan mampu terhindar dari ketidak adilan, maka perintah poligami dengan mereka menjadi gugur, karena dikhawatirkan bukan menolong para yatim, akan tetapi sebaliknya, yaitu hanya untuk mengeksploitasi saja. Jadi bagi para yatim yang tidak mengkhawatirkan dari segi keadilan dalam hidupnya apabila disukai dan mau dikawin, mereka berstatus sama dengan wanita bukan dari golongan yatim, yaitu bukan dengan jalan praktek poligami. Disinilah penulis melihat letak keagungan ayat tersebut, yaitu adanya hubungan sebab akibat yang rasional, boleh berpoligami asalkan dengan tujuan menolong kehidupan yataamaa. Dimana menolong dalam kebaikan merupakan perbuatan soleh yang dianjurkan, apalagi yang ditolong adalah yataamaa. Kalau alasan ini yang melatarbelakangi seseorang berpoligami, maka: 1. Para yatim lebih tertolong, sehingga masa depan mereka lebih baik. 2. Adanya seorang ayah bagi suatu keluarga merupakan suatu modal status sosial yang sangat berarti, terutama untuk teman bertukar pikiran dalam menghadapi berbagai masalah kekeluargaan. 3. Dengan tujuan utama menolong keluarga muslim yatim, maka praktek poligami akan lebih banyak mempunyai tempat di masyarakat daripada yang ada sekarang ini, karena poligami diimbangi dengan menolong daripada hanya ketamakan. 4. Dapat menyelesaikan bagian dari permasalahan sosial, sehingga akan membantu meningkatkan kwalitas sosial masyarakat. 5. Praktek poligami akan terbatas hanya pada para keluarga yatim, sehingga kekhawatiran isteri pertama tentang suami akan mempunyai isteri lebih dari satu (simpanan) dengan wanita selain yatim akan terkurangi.

Tentang Nabi Muhammad S.A.W Setelah turunnya surat Annisa’ ayat 3 tsb., maka jumlah istri dibatasi sampai dengan empat orang, dimana sebelumnya tidak ada. Namun yang menarik adalah alasan yang melatarbelakangi Nabi S.A.W terdorong kawin lebih dari satu. Kita sepakat bahwa hukum-hukum normal yang rasional untuk orang biasa tidak berlaku bagi para Nabi, dalam arti pelanggaran-pelanggaran hukum rasional itu bukan berarti mengurangi kebesaran para Nabi, melainkan sebaliknya, contohnya: ketika Nabi Ibrahim A.S dimasukkan kedalam api, maka api tersebut dengan kekuasan-Nya tidak mampu membakar Nabi Ibrahim A.S.. Kita tahu bagaimana proses kehidupan Nabi Isa A.S. mulai sejak didalam kandungan ibunya, ketika ia masih bayi sampai ia dewasa, dan masih banyak contoh lainnya yang bisa dibaca dalam kisah-kisah para Nabi didalam Al-Qur’an. Katakanlah dalam pembahasan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W dapat diterima oleh rasional, maka hal ini hanya untuk mencari latarbelakang beliau S.A.W beristeri lebih dari satu. Selama 28 tahun ia S.A.W beristerikan Khadijah saja, Setelah Khadijah wafat kemudian kawin dengan Saudah bt Zam’a janda Sakran b’Amr b’Abd Syams, Saudah adalah termasuk orang yang pertama-tama memeluk Islam, sampai kemudian ia ikut hijrah ke seberang lautan di Abisinia, jadi kalau sesudah itu Nabi S.A.W mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat yang setarap dengan Ummul-Mukminiin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi. Adapun dengan Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Nabi S.A.W mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga ia mengikatkan diri dengan Ustman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya dengan mereka. Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal ini, Zainab adalah isteri Ubaid bin Harith bin Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Sedangkan Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, kemudia dalam perang Uhud Abu Salama menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi S.A.W ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad dan berhasil. Tetapi bekas lukanya dari perang Uhud itu terbuka sampai menyebabkan ia meninggal. Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima adalah demikian juga. Disini kita mencoba untuk memakai rasional, seandainya saat itu perkawinan Nabi S.A.W hanya didasarkan pada godaan selain untuk menolong dan mengikatkan diri dengan para kerabat dekatnya, pasti masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Ansar yang lain yang bersedia dipersunting Nabi S.A.W, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia S.A.W dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia S.A.W mengawini mereka dengan pertimbangan yang luhur itu. Perkawinanya dengan Zainab bt. Jahsy janda Zaid anak angkat dan bekas budaknya, puteri Umaima bt. Abd’l-Mutallib bibinya, itu untuk melaksanakan hukum yang pada dasarnya menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia S.A.W menetapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai bimbingan dan rahmat buat alam semesta. Yaitu kehendak Tuhan mau menghapus melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama, seperti firman-Nya; “Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar” (Al-Quran, 33:4). Kalau Nabi S.A.W tidak mengawali menghapus tradisi itu, maka yang lain akan enggan melaksanakannya, karena takut apa yang akan dikatakan orang mengawini isteri bekas anak angkatnya, tetapi takut kepada manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan takut kepada Tuhan, untuk itu Nabi S.A.W harus mengawalinya agar menjadi panutan bagi kaumnya, biarlah ia S.A.W menjadi korban dan tidak perduli apa yang akan dikatakan orang demi melaksanakan perintah Tuhan (lihat juga Al-Qur’an 33:37).

Kesimpulan. Atas dasar tulisan ini penulis menyimpulkan, bahwa praktek poligami hanya dapat dilakukan apabila ia melihat yataamaa, kemudian khawatir tentang kehidupan masa depan mereka, lalu ada perasaan ingin menolong mereka dari masalah itu, maka boleh juga menolong agar terlindungi dengan jalan mengawininya sebagai isteri yang lain, asalkan disukai.
- Nasuki, Abu Dhabi, 22/12/2006 19:12

Tuesday, December 26, 2006

Poligami, sebuah pendapat pribadi plus sedikit rujukan

Minggu-minggu terakhir ini Indonesia 'digemparkan kemballi' oleh peristiwa pengumuman salah satu tokoh masyarakat Indonesia, KH Abdullah Gymnastiar, lebih sering disebut AA Gym, yang menyatakan telah menikah lagi untuk yang kedua kalinya. Wacana mengenai poligami ini kembali merebak, sedemikian hebat hingga Presiden SBY menyatakan akan melakukan revisi atas UU perkawinan. Di masyarakat, polemik yang sebelumnya sudah mereda sejak Poligami Awardnya Puspo Wardoyo beberapa tahun silam yang juga menghebohkan walaupun dalam skala 'richter' yang lebih kecil karena kalliber tokoh yang berbeda (saya pertama kali denger nama Puspo Wardoyo juga baru gara2 Poligami Award tsb hehehe).
merebak cukup dahsyat. berbagai tokoh masyarakat mulai dari ulama, artis, aktivis wanita, hingga ormas mengeluarkan pendapat baik yang pro, kontra, maupun netral.

Secara pribadi, saya Insya Allah memilih untuk tidak melakukan poligami.
Benar, dalam ajaran Islam diperbolehkan untuk memiliki 2, 3, atau 4 istri, dengan syarat harus dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Hal itu yang sering dilupakan oleh kawan2 yang berpoligami, bahwa keadilan tidaklah dilihat dari bagaimana ia melihat hubungannya
dengan para istrinya, justru bagaimana seorang istrinya melihat hubungannya dengan keluarganya secara keseluruhan

Baca , Artikan dan Pikirkan bacaan berikut ini .. ( diambil dari http://donnya.wordpress.com/2006/10/09/rahasia-dibalik-perkawinan-nabi-muhammad-saw/ )



RAHASIA DIBALIK PERKAWINAN NABI MUHAMMAD SAW.



Ketika orang-orang mendengar bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai banyak istri semasa hidupnya, banyaklah timbul suara-suara yang sumbang kearah Nabi Muhammad SAW.

Padahal, kalau mereka mau menelaah lebih dalam untuk mengetahui apa rahasia dibalik perkawinan Nabi Muhammad SAW, niscaya mereka akan mengerti dan memaklumi adanya bahkan akan memuji kepintaran strategi dari Nabi besar Muhammad SAW, yaitu : “political and social motives”.

Perkawinan pertamanya dengan Khadijah dilakukan ketika dia berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Selama hampir 25 tahuh, Nabi SAW hanya beristrikan Khadijah, sampai Khadijah meninggal dunia diumur 65 tahun (semoga Allah memberkahinya).

Hanya setelah Nabi SAW berumur lebih dari 50 tahun, barulah nabi SAW mulai menikah lagi. Dengan demikian jelaslah bahwa jika memang Nabi SAW hanya mencari kesenangan semata, tentulah tidak perlu beliau menunggu sampai berusia lebih dari 50 tahun, baru menikah lagi. Tapi Nabi Muhammad SAW tetap mencintai Khadijah selamaa 25 tahun, sampai Khadijah meninggal dunia di usia 65 tahun.

Perkawinannya selanjutnya mempunyai banyak motive. Beberapa perkawinan adalah dengan tujuan membantu wanita yang suaminya baru saja terbunuh didalam membela Islam. Yang lain adalah demi menambah dan mempererat hubungan dengan salah satu pendukung fanantik Islam, Abu Bakr (semoga Allah memberkahinya).

Ada juga dalam upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang semula berniat memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi SAW mengawininya, maka perang pun terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah.

Setidaknya, ada Professor Non-Muslim yang berkesempatan mempelajari secara langsung mengenai sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad SAW berkesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kaum non-muslim lainnya.

John L. Esposito, Professor Religion and Director of Center for International Studies at the College of the holly cross, mengatakan bahwa hampir keseluruhan perkawinan Nabi Muhammad SAW adalah mempunyai misi sosial dan politik (political and social motives) (Islam The straight Path, Oxford University Press, 1988).

Salah seorang non-muslim lainnya, Caesar E. Farah menulis sebagai berikut: “In the prime of his youth and adult years Muhammad remained thoroughly devoted to Khadijah and would have none other for consort”.

Caesar Farah pun berkesimpulan bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW lebih karena alasan politis dan alasan menyelamatkan para janda yang suaminya meninggal dalam perang membela Islam.

Sehingga memang jika melihat lagi ke sejarah, maka dapatlah diketahui apa alasan sebenarnya perkawinan nabi Muhammad SAW.

Berikut ini kita tampilkan nama-nama Istri Nabi Muhammad SAW beserta sekilas penjelasannya:

1. Siti Khadijah: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadijah. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.

2. SAWDA BINT ZAM’A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz, yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam’a sudah 65 tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW menikahinya.

3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemudian mengawininya. Dan bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW meninggal.

4. HAFSAH BINT U’MAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya, Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman dan Umar gembira.

5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.

6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab, meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.

7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).

8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam. Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-Mustalaq). Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.

9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik, mungkin Insha Allah disampaikan terpisah.

10. UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggak di Ethiopia. Raja Ethiopia pun mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1 AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60 tahun dan dia 35 tahun.

11. MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.

12. MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan akhirnya meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.

Kalau sudah tahu begini dan kalau memang dikatakan mau mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW, kira-kira masih minat dan berani nggak ya kaum Adam untuk ber-istri lebih dari 1?



(sumber: anwary-islam.com)