Rekomendasi Seminar NU Australia dan New Zealand: RUU APP Harus Ditunda dan Direvisi Total RUU APP ibarat membunuh nyamuk dengan bom. Mudharat atau kerusakan sampingannya jauh lebih besar dari manfaat atau hasil yang ingin dicapai. Dengan kata lain, walaupun yang disasar sebenarnya adalah pornografi media dan pertunjukan seks, RUU ini bisa menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap budaya, seni, hidup, kerukunan, identitas kebangsaan dan tatanan sosial yang demokratik. Oleh karena itu, RUU ini harus ditunda dan direvisi total. Pokok pikiran itu terpapar dalam Seminar Mengkritisi RUU APP yang diselenggarakan dan diprakarsai Pengurus NU Cabang Istimew Australia dan New Zealand Perwakilan Victoria, yang diketuai Suaidi Asyari, tanggal 1 April 2006 bekerja sama dengan Indonesia Programs, Melbourne University dan Konsulat RI di Melbourne. Seminar itu menghadirkan budayawan Emha Ainun Najib, Anna Lumban Gaol (Monash University), Moh Yasir Alimi (antropolog, ANU), Atip Latiful Hayat (ahli hukum, Monash University, Persis), dan Tim Lindsey (pengajar fakultas hukum, Melbourne University) . Seminar tersebut dihadiri oleh lebih 300 warga Indonesia dari berbagai latar belakang organisasi, agama, etnis, mahasiswa universitas, kelompok pengajian di Victoria dan warga Australia yang bisa berbahasa Indonesia. Pornografi menindas masyarakat Dari kaca mata perspektif feminis, pornografi adalah bentuk kekerasan. Atau tepatnya kekerasan yang dierotisasikan (erotisized violence). Mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Sayangnya pornografi justru menjadi industri dengan angka pertumbungan dan laba yang terus meningkat 40% tiap tahunnya. Didalamnya perempuan diexploitasi, dijual murah dan tidak diberi suara. Oleh karena itu, menurut Anna, pornografi sebagai industri perlu campur tangan negara melalui undang-undang. Disinilah masalahnya dengan RUU APP. Alih-alih melindungi perempuan sebagai korban pornografi, RUU APP justru menyalahkan perempuan sebagai sumber masalah moralitas. Akibatnya RUU APP gagal melindungi perempuan sebagai kelompok yang rentan. Karena cakupannya yang luas, RUU APP, menurut Yasir, tidak hanya mengejar-ngejar pelaku dan media porno, tapi juga masyarakat secara luas. Bukan hanya membahayakan perempuan, tapi juga praktek sosial dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat yang bahkan sudah menjadi identitas bangsa dengan mengancam kesenian seperti ketoprak, Tayub, Jaipong dan sebagainya. Oleh karena itu, RUU ini tidak hanya mengancam peta geografi sosial dan spiritual Bali, Papua dan NTT melainkan juga Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. RUU ini tidak hanya mengancam religiusitas Hindu dan sebagainya tapi juga religiusitas dan praktek sosial masyarakat Muslim. Masalah RUU ini singkat kata tidak akan selesai hanya dengan mengecualikan Bali, Papua dan NTT yang sudah tegas menolak. Pergolakannya bukan akan terjadi di kantong-kantong Hindu atau Kristen, melainkan di kantong-kantong Islam sendiri, papar mahasiswa antropologi ANU yang juga international liason officer PCI NU Australia dan New Zealand itu. Walaupun mandi disungai, sendang atau sumur umum yang sudah menjadi praktek sosial ratusan tahun, masyarakat Jawa, Sumatara, Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan adalah muslim yang relijius mendalam dan bermoralitas tinggi. Perempuan-perempuan yang menyusui anaknya di bis kota, pasar atau kereta api adalah perempuan yang mulai, berdedikasi dan bermoralitas luhur karena mereka anak mereka menjadi anak-anak yang tangguh, berakhlak mulia dan cerdas. Para pemimpin seperti Sukarno, Soeharto, Gus Dur dan bahkan SBY sendiri pasti pernah lahir dari praktek susuan seperti ini. Karena definisi yang tidak kompeten, sangat naif kalau menuduh mereka ini amoral, asusila dan melawan kehendak Tuhan. Berpotensi Fasis RUU ini juga berpotensi fasis dalam dua hal. Pertama, penjelasan dan konsideran RUU bertujuan untuk melindungi nilai-nilai ketuhanan. Hal demikian, menurut Yasir hanya ada dalam sistem negara yang menganut paham teokrasi atau negara agama, bukan negara Pancasila seperti Indonesia. Hal ini menurut Tim Lindsey, mengancam fondasi dasar dan tata negara, pluralitas bangsa, demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi politik tidak dibarengi dengan demokrasi sosial. Aurat—atau bagaimana harus berpakaian--, tegas Cak Nun, sama seperti halnya shalat dan ibadah lainnya yang tidak perlu intervensi negara. Tuhan tidak perlu dibela dan juga diwakili dengan undang-undang atau kelompok tertentu. Biarlah soal aurat itu menjadi wilayah pendidikan, keluarga dan masyarakat. Kedua, RUU ini berpotensi mengembalikan fungsi negara seperti pada masa Soeharto. Negara memang boleh membuat aturan pada wilayah publikasi dan distribusi media mengenai pornografi. Namun, negara dalam RUU APP, tegas Cak Nun, diberikan kekuasaan yang besar untuk memutuskan mana pornografi yang dibolehkan, walaupun hanya untuk pendidikan dan kesehatan sekalipun. Pasal-pasal yang menyeramkan Rangkaian kegagalan diatas menjadikan pasal-pasal RUU APP tidak kreatif dan menyeramkan. Konsideran bagus, tegas Atif dari Persis, tapi batang tubuhnya harus dikritisi. Tidak rela pornografi menjadi berdaulat di negara sendiri, tapi juga tidak rela bila RUUnya seperti ini . Pasal-pasal harus dibuat persuasif dan loebih lembut. Pakai sniper saja Cak Nun menyarankan agar SBY, Agung Laksono dan Hidayat Nurwahid memimpin dan berbicara kepada rakyat menunda RUU ini, agar orang berSeminar dan pemerintah dan DPR membuat Tim yang lebih objektif dan plural. Untuk undang-undang sepenting ini, harus ada dialog dan perundingan agar tidak mengembangkan konflik baru. Hukum harus bekerja sama dan didasarkan pada budaya, sosiologi kemasyarakatan dan nilai-nilai yang berkembang. Daripada pakai bom, untuk menyasar tayangan televisi dan media cetak yang kebablasan, lebih baik pakai sniper saja. Caranya bisa seperti menghidupkan Badan sensor di masa lalu yang spesifik untuk masalah pornografi atau membuat aturan yang lebih spesifik seperti UU penyiaran, UU anti-pesta seks, UU tentang distribusi pornografi dan sebagainya. Dalam acara yang dihadiri Professor Arif Budiman, indonesianis, wartawan dan masyarakat Indonesia di Melbourne itu, Suaidi Asyari selaku koordinator acara dan juga ketua PCI NU Australia dan New Zealand Perwakilan Victoria mengatakan acara ini diselenggarakan sebagai kepedulian NU terhadap bangsa Indonesia. Suaidi juga memperkenalkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengedepankan prinsip-prinsip Islam moderat.
Suaidi AsyariMIALS The University of MelbourneVictoria Australia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Tidak usah mengkaji Islam. Islam semakin dikaji semakin ketahuan boongnya (kalo yg mengkaji mau jujur).
Indonesia.faithfreedom.org
Post a Comment