Monday, February 26, 2007

Perlu Dialog dari Hati ke Hati, Bukan Bibir ke Bibir

Sebuah artikel menarik di islamlib.com

Muhammad Najib Ghoni:
Perlu Dialog Hati ke Hati, Bukan Bibir ke Bibir
26/02/2007
Begitu Presiden Soeharto lengser, kita justru melihat banyak kerusuhan antar umat beragama. Karena itu, kami bersama teman-teman mencoba untuk membangun situasi kerukunan yang tidak bersifat top-down, tapi bottom-up. Artinya, itu benar-benar diinginkan oleh masyarakat dan agamawan itu sendiri.



Kerukunan antar umat beragama selama ini sebetulnya bersifat semu dan artifisial. Ketika harmoni yang semu dan artifisial itu diuji letupan konflik yang kecil saja, kerusuhan berskala massal bisa saja meledak. Diperlukan dialog lintas agama dari hati ke hati, bukan sekadar dari bibir ke bibir. Demikian pengalaman Muhammad Najib Ghoni yang akrab disapa Gus Najib, Pimpinan Pondok Pesantren Shiratul Fuqoha, Sepanjang, Gondanglegi, Malang, kepada Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (15/2) lalu.

Gus Najib, bisa diceritakan pengalaman Anda dalam menjalankan forum dialog lintasagama?

Kebetulan, hari ini (15/2) adalah hari terakhir kami mengadakan dialog antar umat beragama se-Asia yang bertajuk Youth, Leader and Women Interfaith Dialogue. Tempatnya di Institut Pendidikan Teologi Balewiyata, Malang. Di sini berkumpul teman-teman Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Mereka jadi satu untuk membangun kebersamaan. Untuk apa kami mengadakan acara ini?

Kita tahu, belakangan banyak terjadi keusuhan-kerusuhan mengatasnamakan agama. Kalau sudah mengatasnamakan agama, kita akan susah sekali memadamkannya. Tidak usah dibayar pun orang dengan semangat akan ikut. Mereka akan merasa itu sebagai perjuangan suci. Nah di forum ini, kita menganalisis mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi. Salah satunya faktor penyebabnya adalah karena tidak terjadinya dialog. Perspektif masing-masing pihak masih subyektif terhadap pihak lain.

Karena itu, kita mengumpulkan anak muda lintasagama agar terjadi pergeseran perspektif dalam menilai agama dan pihak lain. Biasanya, setiap agama memang cenderung menghukumi agama lain secara monolog dan dari sudut pandang masing-masing. Di sini, itu kita coba dialogkan. Dari sini kita harapkan timbul cara membangun kebersamaan dengan memahami kultur masing-masing agama secara langsung.

Apa target dan tujuan forum-forum seperti ini?

Tujuannya adalah untuk membangun iklim toleransi antar umat beragama. Kita tahu, iklim toleransi yang terbangun antarumat beragama selama ini masih agak formal; masih toleransi grup. Kita mau menghormati orang lain kalau ada dalam struktur grup tertentu. Tapi secara individual, kita akan kembali ke sikap-sikap yang intoleran. Jadi jarang sekali yang toleran itu sampai bergeser pada tataran penghayatan individu.

Dalam forum ini kita coba mengusahakan agar toleransi dalam grup itu bergeser ke toleransi antarindividu. Bukan lagi basa-basi karena sungkan ini dan itu, tapi toleransi itu benar-benar timbul dari dalam diri individu-individu. Dengan itulah mereka akan mengerti the ultimate values atau nilai paling utama di tiap-tiap agama. Dari situ terbangunnya pertemanan yang tak bisa dipisahkan oleh berbagai masalah lagi.

Saking intimnya, kami menyebut forum ini bukan hanya dialog bibir ke bibir, tapi heart to heart dialogue atau dialog dari hati ke hati. Kita tidak hanya membicarakan perdamain, tapi juga membincangkan soal teologi agama masing-masing. Selama ini, banyak keraguan dan kecurigaan masing-masing pihak terhadap pihak lain. Yang non-Muslim tidak tahu bagaimana iklim pesantren, sementara orang tidak tahu iklim vihara dan biara.

Secara teknis, bagaimana menciptakan iklim persahabatan yang intim itu?

Selain lewat interaksi di kelas, kita juga mengirim peserta dialog yang Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya untuk tinggal di pesantren. Di situ mereka akan merasakan pengalaman-pengalaman unik yang baru. Yang punya persepsi buruk tentang pesantren misalnya, akan tahu iklim pesantren.

Ada peserta Hindu yang begitu tahu akan kita kirim ke pesantren langung nervous. Saking paniknya, dia sempat telepon istri dan bilang akan berangkat ke pesantren. Keluarganya sempat keberatan. Tapi begitu sampai di pesantren, dia justru ceria dan disambut baik oleh kiai dan para santri. Dia pun ditanya ini dan itu, dan sempat bertanya apapun yang tidak ia ketahui tentang pesantren. Saat itu juga, kecurigaannya terhadap pesantren sirna.

Begitu pula pengalaman mereka yang kita kirim ke kongregasi Kristen. Pertamanya banyak yang mengganggap gereja itu tak lebih institusi kristenisasi, identik dengan dan disuplai dana oleh Barat, dan punya hidden agenda terhadap kaum Muslim. Tapi begitu tinggal beberapa hari di kongregasi, persepsi mereka berganti. Sebenarnya apa yang dicurigai selama ini tidak terbukti. Buyar persepsi mereka.

Nah, pengalaman tinggal bersama yang kita sebut ”live in” dengan komunitas lain itu, ternyata bukan main efektif untuk membuka perspektif-perspektif yang negatif terhadap orang lain.

Selain metode ”live in”, adakah cara lain yang Anda tempuh?

Ada. Itu pernah saya terapkan pada kalangan pemuda. Misalnya belajar bersama. Di tahun 1997-1999, terjadi krisis luar biasa dalam hubungan antaragama. Saya bersama teman-teman di Malang mengumpulkan anak-anak pendeta dan anak-anak kiai di dalam pesantren selama satu bulan untuk belajar bahasa Inggris bersama. Kebetulan saat itu ada teman dari Kanada dan Jerman yang mau mendampingi mereka.

Nah, mereka bisa berkumpul, berdiskusi bareng—tapi tidak tentang teologi—sembari belajar bahasa. Hasilnya luar biasa. Mereka yang tadinya takut untuk saling ketemu, berjarak antara satu dengan yang lain, akhirnya bisa tinggal dan belajar bersama. Mereka berkesimpulan bahwa kerusuhan dan kecurigaan yang berlebihan itu sudah tidak beralasan. Bahkan para guru yang menerima warning harus pulang ke Kanada, justru tak mau pulang dan nyaman tinggal di pesantren.

Apakah kekhawatiran akan pencairan akidah atau sinkretisme beragama lewat forum seperti ini beralasan?

Kekhawatiran itu memang masih jadi kendala. Itu berdampak pada kesulitan mencari peserta dialog. Tapi, tentu saja kekhawatiran itu tak terbukti di lapangan. Sebab biasanya, saat pertama kali bertemu, para peserta saling menjatuhkan yang lainnya. Mereka berpikir bagaimana agama saya bisa menang dan agama lain kalah.

Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika mereka sudah tinggal bersama dalam waktu cukup lama, mereka akan kehabisan energi. Tapi tetap saja mereka tahu bahwa dalam kehidupan sehari-hari, mereka tak bisa membuktikan bahwa tujuan dialog adalah untuk menyatukan agama-agama. Jadi, ketakutan semacam itu memang ada pada tahap awal-awalnya saja. Setelah bertemu dan berdialog, bukan sinkretisme yang justru terjadi, tapi perluasan perspektif masing-masing terhadap orang lain.

Seperti apa fase-fase perubahan perspektif itu berjalan?

Pada minggu pertama, baik yang Islam maupun Kristen, biasanya akan berkumpul dengan kelompok masing-masing. Waktu makan, mereka akan menyudut dengan kelompoknya itu juga. Diskusi pertama mereka adalah diskusi kecurigaan; soal apa motif dialog semacam ini. Banyak lagi kecurigaan lainnya pada diskusi yang pertama. Bahkan sebelum live in ke suatu tempat, mereka sudah menyusun strategi untuk mencari kelemahan-kelemahan pihak tertentu. Yang Kristen mencari kelemahan-kelemahan pesantren, begitu juga sebaliknya. Tapi begitu sudah tinggal lama di pesantren atau kongregasi, mereka hampir tak akan bisa berkata apa-apa lagi.

Kita pernah mengundang seorang pendeta dari Sulawesi untuk ikut acara kita di Malang. Pertamanya, dia menganggap orang Islam itu sama semua. Ketika kita kirim dia ke pesantren, dia tak bisa tidur. Persepsinya tentang pesantren selama ini sangat buruk. Tapi begitu kembali dari pesantren, dia hampir tak bisa berkata apapun. Persepsi negatif yang selama ini ada, dibuyarkan ketika dia ber-live-in-ria.

Dari situ, biasanya dimulai fase baru. Mereka yang tadinya berkumpul dengan kelompok masing-masing, mulai berkomunikasi dengan kelompok lain, duduk dan makan bersama lintasagama. Mereka saling cerita soal pengalaman selama live in. Dari sinilah mulai terjadi dialog yang cair. Yang tadinya sangat formal menjadi dialog dari hati ke hati. Ketika akhir kegiatan, biasanya mereka sudah tidak bisa dibeda-bedakan lagi.

Apa tantangan internal kegiatan seperti ini?

Tantangan internal dalam bentuk resistensi, di mana pun pasti ada. Misalnya dari lingkungan pesantren sendiri. Tapi itu bisa ditanggulangi. Dulu para santri sangat takut dengan kehadiran orang-orang non-Muslim. Mereka sudah meyiapkan cara agar pendeta tersebut masuk Islam. Bahkan untuk mencari tempat tinggal pendeta pun kita dulunya kesulitan.

Biasanya, sebelum acara kita survei dulu dari pesantren ke pesantren sambil minta izin menjalankan program dan menempatkan kawan-kawan non-Muslim di situ. Dari situ kita dapat melihat reaksinya. Ada yang menolak dengan tegas, ada yang menolak halus, dan ada yang menerima. Dari beberapa kunjungan ke pondok pesantren, kita dapat menemukan kiai-kiai yang cukup pluralis, bisa menerima kita, dan bahkan bersedia memperlakukan para peserta dengan baik.

Biasanya, sikap yang antipati beranjak dari ketindaktahuan. Tak kenal maka tak sayang. Banyak sekali orang Islam yang tidak tahu ada banyak denominasi (firqah) di dalam Kristen. Nah, dari proses tinggal bersama itu, mereka akan tahu bahwa di Kristen itu banyak sekali denominasi-denominasi yang masing-masing punya kepentingan berbeda. Dari hidup bersama, mereka sadar akan fakta itu dan dapat menghormati tradisi agama lain sebagaimana pemilik tradisi menghormati tradisinya.

Ada banyak jalur kebudayaan yang bisa ditempuh juga, ya?

Ya. Jalur kebudayaan itu sudah pernah juga dilakukan partner kami. Misalnya oleh teman-teman Konghucu di Klenteng Malang. Perlu Anda tahu, dari 100 pemain barongsai yang ada di sana, 90 orang diantaranya adalah Muslim. Bahkan Reog Ponorogo yang diasuh GKJW Malang, tidak hanya diamainkan oleh orang-orang Kristen, tapi lintasagama. Bahkan ada juga yang dari Islam.

Fakta-fakta kecil itu biasanya mampu membuat peserta dialog membuka diri. Mereka sadar, selama ini tidak ada masalah antaragama. Dari situ mereka bisa membedakan mana yang hanya masalah agamawan tertentu, mana soal politisasi agama, dan mana yang benar-benar masalah agama. Mereka tidak akan lagi gampangan dalam menuding golongan-golongan lain. Dalam dialog ini, satu sama lain memang benar-benar ingin mengenal orang lain dan ingin hidup bersama dalam damai.

Biasanya tema-tema apa saja yang ditekankan dalam forum, Gus?

Yang paling utama adalah bagaimana agar setiap orang punya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Di antaranya bagaimana agama betul-betul peduli terhadap orang miskin. Dari beberapa pengalaman dialog, kita tahu sebenarnya musuh utama agama dan para agamawan bukanlah agama lain, tapi soal kemiskinan. Karena itu, di forum dialog kita mengemas cara agar agamawan sadar bahwa musuh kita sebenarnya adalah kemiskinan. Dari situ kita bisa membentuk jaringan antaragama. Kita juga mengangkat isu proeksistensi dalam kehidupan beragama.

Dulu, orang beranggapan bahwa hubungan antaragama masa Orde Baru cukup rukun dan damai. Faktanya memang rukun dan damai. Tapi kerukunan dan kedamaian itu sebenarnya berlangsung top-down. Ada politik kerukunan yang menjadi kebijakan pemerintah masa itu. Jadi, masyarakat rukun-rukun dan menghormati orang lain karena takut pada pemerintah. Beberapa daerah yang dianggap kurang rukun, pejabatnya akan kena skors.

Bagi kami, kerukunan antaragama saat itu bersifat semu dan artifisial. Terbukti, begitu Presiden Soeharto lengser, kita justru melihat banyak kerusuhan antar umat beragama. Karena itu, kami bersama teman-teman mencoba untuk membangun situasi kerukunan yang tidak bersifat top-down, tapi bottom-up. Artinya, itu benar-benar diinginkan oleh masyarakat dan agamawan itu sendiri.

Jadi sifatnya antisipatif, ya?

Benar. Lihat saja tempat-tempat yang pernah dilanda kerusuhan saat ini. Dulunya, tempat-tempat itu tergolong aman. Ini menunjukkan bahwa kerukunan saat itu adalah kerukunan yang semu. Begitu diuji sedikit saja, gampang sekali meletusnya kerusuhan luar biasa. Nah, dengan bertemu dalam forum lintasagama, kita mendapatkan hal-hal yang luar biasa. []

Kutipan artikel

Sebuah artikel yang aslinya merupakan tanggapan atas artikel yang termuat di www.islamlib.com, dengan judul Dari Qasim Untuk AA Gym. Ditulis oleh sala seorang komentator bernama Nasuki yang tinggal di Abu Dhabi.
Dikutip disini bukan sebagai pernyataan bahwa saya akan berpoligami (Insya Allah tidak akan melakukannya), melainkan untuk memberikan gambaran bagaimana, di mata saya, Islam menerapkan praktek Poligami. Selain itu juga memberikan sedikit klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan banyak pihak mengenai sejarah Poligami Rasulullah SAW. Kiranya dapat menjernihkan sedikit polemik tentang poligami tersebut.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Poligami boleh Hanya dgn. Perempuan Yatim

Poligami Kebanyakan. Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu: polus berarti banyak, dan gamos berarti perkawinan, sehingga poligami berarti kawin (beristeri/bersuami) banyak. Dalam tulisan ini poligami agar dibaca pria muslim beristeri dua, tiga sampai dengan empat. Pelaksanaan poligami pada umumnya bertujuan utama menghindari perbuatan perzinahan serta pelanggaran-pelanggaran lain dari norma agama Islam yang dilatarbelakangi oleh banyak hal, yang mana mereka mengetahui bahwa Islam memperbolehkankan praktek poligami berdasarkan atas Al-Qur’an surat Annisak, ayat 3: “Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya”

Alasan Yang Tidak Rasional. Surat Annisak, ayat 3 jika diterjemahkan apa adanya terdiri dari 5(lima) kalimat utama, yaitu: 1. Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, 2. maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat. 3. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, 4. hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu . 5. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.

Tafsir yang beredar mengartikan surat Annisak, ayat 3 antara lain sebagai berikut: I. Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, Depag RI, Jakarta 1978: 1. Dan jika kamu merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila mengawini anak-anak yatim itu, 2. maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu sukai: Dua, tiga, atau empat. 3. Tetapi jika kamu khawaatir takkan dapat berlaku adil antara wanita-wanita itu, 4. maka kawinilah seorang saja atau hamba sahaya yang kamu miliki. 5. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.

II. Interpretation of the Meaning of THE NOBLE QUR’AN in English language, Islamic University, Al-Madinah Al-Munawarah, Saudi Arabia, 1996: 1. And if you fear that you shall not be able to deal justly with the orphan girls 2. then marry (other) women of your choice, two or three, or four; 3. but if you fear that you shall not be able to deal justly (with them), 4. then only one or (slaves) that your right hands possess. 5. That is nearer to prevent you from doing injustice.

Adanya tambahan kata “bila mengawini” dalam kalimat pertama, dan kata “lain” dalam kalimat kedua pada terjemahan I, dan tambahan kata “other” dalam kalimat kedua pada terjemahan II, keduanya merubah makna ayat tsb., sehingga dapat merubah pula latar belakang atau alasan seseorang dalam berpoligami. Akan tetapi kalau disimak lebih dalam lagi pada terjemahan I ataupun II, maka maknanya dapat disimpulkan sbb.: 1. Apabila seseorang merasa khawatir tidak dapat berlaku adil apabila berpoligami dengan para yatim, kemudian dianjurkan untuk berpoligami dengan wanita-wanita selain yatim, atau dapat diartikan bahwa kalau khawatir tidak dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, maka boleh berlaku tidak adil asalkan berpoligami dengan bukan dari golongan yatim. Akan tetapi pada kalimat ketiga pelaku poligami masih dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya, artinya kalau pelaku poligami bisa melaksanakan keadilan dengan ‘wanita lain’ sesuai perintah pada kalimat ketiga, lalu mengapa harus berpoligami dengan wanita bukan golongan yatim, toh pada dasarnya pelaku tsb. dapat berlaku adil. Diawalnya dikatakan “jika tidak dapat berlaku adil”, kemudian pada kalimat ketiga masih dituntut untuk berbuat adil, jadi ada kontradiksi atau kacau. 2. Seandainya ada seorang yang dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, berapa batasan jumlah isteri yang dapat dikawini dari golongan yatim?, yang pasti, bukan dua, atau tiga, atau empat, karena bilangan tersebut hanya diperuntukkan apabila kawin dengan ‘wanita lain’, bukan dengan para yatim. 3. Kalaulah pemaknaan tersebut merupakan keyakinan yang dikemas menjadi sesuatu, katakanlah “kesepakatan”, maka dalam berpoligami akan ada skala prioritas, yaitu mereka harus mencoba/mencari untuk berpoligami dengan para yataamaa sebagai prioritas pertama, kemudian apabila dirasa atau khawatir tidak dapat berlaku adil, kemudian boleh dengan wanita lain yang disukai sebagai prioritas kedua, tetapi hal ini masih menyisakan satu pertanyaan, tentang batasan jumlah isteri dari golongan yatim.

Alasan Yang Rasional Ayat tsb. diatas kalau diterjemahkan apa adanya dapat bermakna, apabila seseorang merasa khawatir terhadap para yatim (yataamaa) tentang suatu kemungkinan adanya perlakuan yang tidak selayaknya, atau khawatir tentang perjalanan hidup yataamaa tanpa adanya seorang “ayah”, maka dianjurkan untuk mengawini wanita-wanita (ibu sianak yatim atau perempuan-perempuan yatim) yang disukai sampai dengan empat orang. Secara akal (baca: rasional) ini dapat diartikan agar kita menolong para keluarga yatim dengan mengawini perempuan yang disukai, agar mereka dapat hidup layak sebagaimana keluarga lain yang bukan yatim, yaitu agar mereka terbimbing dari masa depan yang kurang menguntungkan, baik dari segi akidah maupun dari segi nafkah. Jadi unsur menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan karena menjadi yatim lebih ditonjolkan daripada sekedar kawin dengan alasan lainnya, dengan catatan pilihlah wanita yatim yang disukai, catatan ini dapat diasumsikan bertujuan menjaga keseimbangan tentang perbuatan menolong dengan keinginan si penolong. Akan tetapi kalau kehidupan mereka tidak mengkhawatirkan, misalnya dari segi materi, pendidikan, dll. dinilai cukup atau mereka dinilai akan mampu terhindar dari ketidak adilan, maka perintah poligami dengan mereka menjadi gugur, karena dikhawatirkan bukan menolong para yatim, akan tetapi sebaliknya, yaitu hanya untuk mengeksploitasi saja. Jadi bagi para yatim yang tidak mengkhawatirkan dari segi keadilan dalam hidupnya apabila disukai dan mau dikawin, mereka berstatus sama dengan wanita bukan dari golongan yatim, yaitu bukan dengan jalan praktek poligami. Disinilah penulis melihat letak keagungan ayat tersebut, yaitu adanya hubungan sebab akibat yang rasional, boleh berpoligami asalkan dengan tujuan menolong kehidupan yataamaa. Dimana menolong dalam kebaikan merupakan perbuatan soleh yang dianjurkan, apalagi yang ditolong adalah yataamaa. Kalau alasan ini yang melatarbelakangi seseorang berpoligami, maka: 1. Para yatim lebih tertolong, sehingga masa depan mereka lebih baik. 2. Adanya seorang ayah bagi suatu keluarga merupakan suatu modal status sosial yang sangat berarti, terutama untuk teman bertukar pikiran dalam menghadapi berbagai masalah kekeluargaan. 3. Dengan tujuan utama menolong keluarga muslim yatim, maka praktek poligami akan lebih banyak mempunyai tempat di masyarakat daripada yang ada sekarang ini, karena poligami diimbangi dengan menolong daripada hanya ketamakan. 4. Dapat menyelesaikan bagian dari permasalahan sosial, sehingga akan membantu meningkatkan kwalitas sosial masyarakat. 5. Praktek poligami akan terbatas hanya pada para keluarga yatim, sehingga kekhawatiran isteri pertama tentang suami akan mempunyai isteri lebih dari satu (simpanan) dengan wanita selain yatim akan terkurangi.

Tentang Nabi Muhammad S.A.W Setelah turunnya surat Annisa’ ayat 3 tsb., maka jumlah istri dibatasi sampai dengan empat orang, dimana sebelumnya tidak ada. Namun yang menarik adalah alasan yang melatarbelakangi Nabi S.A.W terdorong kawin lebih dari satu. Kita sepakat bahwa hukum-hukum normal yang rasional untuk orang biasa tidak berlaku bagi para Nabi, dalam arti pelanggaran-pelanggaran hukum rasional itu bukan berarti mengurangi kebesaran para Nabi, melainkan sebaliknya, contohnya: ketika Nabi Ibrahim A.S dimasukkan kedalam api, maka api tersebut dengan kekuasan-Nya tidak mampu membakar Nabi Ibrahim A.S.. Kita tahu bagaimana proses kehidupan Nabi Isa A.S. mulai sejak didalam kandungan ibunya, ketika ia masih bayi sampai ia dewasa, dan masih banyak contoh lainnya yang bisa dibaca dalam kisah-kisah para Nabi didalam Al-Qur’an. Katakanlah dalam pembahasan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W dapat diterima oleh rasional, maka hal ini hanya untuk mencari latarbelakang beliau S.A.W beristeri lebih dari satu. Selama 28 tahun ia S.A.W beristerikan Khadijah saja, Setelah Khadijah wafat kemudian kawin dengan Saudah bt Zam’a janda Sakran b’Amr b’Abd Syams, Saudah adalah termasuk orang yang pertama-tama memeluk Islam, sampai kemudian ia ikut hijrah ke seberang lautan di Abisinia, jadi kalau sesudah itu Nabi S.A.W mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat yang setarap dengan Ummul-Mukminiin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi. Adapun dengan Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Nabi S.A.W mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga ia mengikatkan diri dengan Ustman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya dengan mereka. Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal ini, Zainab adalah isteri Ubaid bin Harith bin Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Sedangkan Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, kemudia dalam perang Uhud Abu Salama menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi S.A.W ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad dan berhasil. Tetapi bekas lukanya dari perang Uhud itu terbuka sampai menyebabkan ia meninggal. Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima adalah demikian juga. Disini kita mencoba untuk memakai rasional, seandainya saat itu perkawinan Nabi S.A.W hanya didasarkan pada godaan selain untuk menolong dan mengikatkan diri dengan para kerabat dekatnya, pasti masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Ansar yang lain yang bersedia dipersunting Nabi S.A.W, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia S.A.W dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia S.A.W mengawini mereka dengan pertimbangan yang luhur itu. Perkawinanya dengan Zainab bt. Jahsy janda Zaid anak angkat dan bekas budaknya, puteri Umaima bt. Abd’l-Mutallib bibinya, itu untuk melaksanakan hukum yang pada dasarnya menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia S.A.W menetapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai bimbingan dan rahmat buat alam semesta. Yaitu kehendak Tuhan mau menghapus melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga pemberian hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama, seperti firman-Nya; “Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar” (Al-Quran, 33:4). Kalau Nabi S.A.W tidak mengawali menghapus tradisi itu, maka yang lain akan enggan melaksanakannya, karena takut apa yang akan dikatakan orang mengawini isteri bekas anak angkatnya, tetapi takut kepada manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan takut kepada Tuhan, untuk itu Nabi S.A.W harus mengawalinya agar menjadi panutan bagi kaumnya, biarlah ia S.A.W menjadi korban dan tidak perduli apa yang akan dikatakan orang demi melaksanakan perintah Tuhan (lihat juga Al-Qur’an 33:37).

Kesimpulan. Atas dasar tulisan ini penulis menyimpulkan, bahwa praktek poligami hanya dapat dilakukan apabila ia melihat yataamaa, kemudian khawatir tentang kehidupan masa depan mereka, lalu ada perasaan ingin menolong mereka dari masalah itu, maka boleh juga menolong agar terlindungi dengan jalan mengawininya sebagai isteri yang lain, asalkan disukai.
- Nasuki, Abu Dhabi, 22/12/2006 19:12